Ini adalah tulisan saya di MBM ARENA Yogyakarta, Oktober 1982 dalam rubrik PIKIRAN BULAN INI.
JALAN ITU MASIH PANJANG DAN BERLIKU
oleh Syafrein Effendi
Saudara
SELAMA sepuluh pekan kita disuguhkan berita perang dari Beirut. Saban malam kita saksikan, lewat kaca TV, kekejaman Israel yang tiada tandingannya di abad ini. Beirut Barat yang nampak begitu anggun berubah menjadi puing- puing berdebu. Usah ditanya berapa banyak orang-orang tak berdosa yang jadi mangsa. Ariel Sharon yang menjadi biangnya serangan-serangan itu mungkin lupa betapa sukarnya kelak anak cucunya menulis sejarah penjarahan luar biasa ini. Serangan gencar Israel (1 – 12 Agustus) yang menewaskan ratusan penduduk sipil - membuat Yasser Arafat tak punya pilihan lain kecuali keluar dari pengepungan itu. Mau bertahan terus? Ah, tak mungkin lagi. Israel begitu serius hendak menghancurkan apa saja, tak peduli rumah sakit, orang-orang jompo atau pun anak-anak. Sedangkan negara-negara Arab tak dapat diharapkan bantuannya. Mau tunggu apalagi!
Saudara
Hari itu Sabtu, 21 Agustus 1982. Kita pun menyaksikan rombongan pertama evakuasi meninggalkan Beirut. Keberangkatan pejuang-pejuang PLO ini diiringi isak tangis, siraman bunga, dentuman senjata ke udara dan pekik perjuangan. Bermacam perasaan timbul ketika itu: haru, sedih, dan entah apalagi. Tak gampang dilukiskan dengan kata- kata. Namun keberangkatan itu pasti benar terjadi. Mereka yang ditinggalkan tak kuasa menahannya barang sejenak.
Saat-saat bersama mereguk suka-duka dan pahit-maung perjuangan telah berlalu. Mereka pergi meninggalkan ayah-ibu, anak-isteri dan saudara-mara. Betapakah perasaan mereka tatkala perpisahan tak dapat lagi ditunda ? Entahlah. Kita hanya sempat menyaksikan eratnya pelukan seorang pejuang muda kepada isteri yang baru saja dinikahinya. Seorang pejuang yang lain mengelus-elus kepala anak bungsunya yang baru berusia satu minggu. Maklumlah, kepergian ini tak menjanjikan suatu pertemuan kembali.
Saudara
Pada saat yang sama, kita pun menyaksikan penduduk Beirut Timur berpesta pora memuntahkan peluru ke udara. Begitu gembira nampaknya mereka dengan keberangkatan pejuang Palestina itu. Ada harapan membersit di wajah mereka : semoga tak ada perang lagi! Dan harapan itu wajar saja. Cuma, harapan itu entah kapan terwujud. Mengapa?
Jawabnya dapat diduga. Israel tidak hanya bermaksud memusnahkan orang- orang Palestina untuk kemudian hengkang dari Lebanon. Itu tak akan terjadi. Begin dan Sharon, agaknya, ingin menancapkan kuku lebih dalam di negeri ini. Lebanon bakal dijadikan daerah penyangga dari serangan-serangan musuhnya. Sulit mengharapkan Israel segera angkat kaki. Upaya ke arah itu telah dilakukan Israel. Bashir Gemayel, misalnya, terpilih sebagai pengganti Elias Sarkis. Dia pro Israel. Hanya sebagian kecil saja yang mendukung presiden baru ini. Reaksi-reaksi tidak menyukai Gemayel bermunculan. Akhirnya Gemayel tewas oleh ledakan bom di markasnya. Dan ini petanda perang saudara itu akan terus berlanjut. Ini pulalah yang dinanti-nantikan Israel agar pasukannya tetap bercokol di situ. Kapankah rakyat Lebanon hidup tentram kembali? Jawabnya sekali lagi: Entahlah!
Saudara
Akan halnya penduduk Beirut Timur, Ariel Sharon pun tersenyum riang menyaksikan evakuasi itu. "'Enyahlah para teroris itu,” katanya angkuh. Memang benar para "teroris"" itu enyah dari Beirut. Tapi Sharon akan tersenyum sejenak saja. Sebab sekitar 4000 - 5000 pasukan PLO siap tempur di utara Lebanon dan lembah Bekaa, di belakang garis pertahanan pasukan Suriah.
Dan perang akan selalu kita saksikan di sana. Pasukan PLO kini terpencar-pencar dengan nasib yang tak pasti. Sementara Israel akan menggunakan kesempatan baik ini melenyapkan para "teroris'' yang masih tercecer di Lebanon.
Memang terjadi peristiwa yang dianggap penting seusai perang di Beirut Barat itu. Presiden Reagen mengajukan usul perdamaian sembilan pasal. KTT Liga Arab di Fez, Marokko, menelurkan Piagam Fez yang secara implisit mengakui eksistensi Israel. Yasser Arafat pun beralih ke kelompok moderat. Semua itu oleh beberapa pihak dipandang sebagai titik cerah bagi penyelesaian masalah Timur Tengah. Namun di pihak lain hal itu tak membawa perubahan apa-apa. Bahkan ada pula yang menilai Piagam Fez merupakan langkah mundur negara-negara Arab dan PLO.
Dan benar juga. Rencana perdamaian itu tak mungkin dapat menyelesaikan perdamaian secara menyeluruh. Sebab apa? Pertama, Uni Soviet, sebagai negara Super Power, tak diikutsertakan. Padahal ini penting usul KTT Fez tidak "dikacaukan" kembali oleh Uni Soviet di Dewan Keamanan. Apalagi persetujuan Moskwa 1972 menyatakan, kedua belah pihak (AS-US) akan sama-sama mengusahakan perdamaian di berbagai kawasan yang dipandang dapat membahayakan perdamaian dunia. Nyatanya, dalam masalah Timur Tengah ini, Amerika mengenyampingkan Uni Soviet. Kedua, prakarsa damai Presiden Reagen masih sangat kabur dan jelas-jelas tak menginginkan adanya suatu negara Palestina. Sedangkan Piagam Fez tak bakal digubris Israel. Dengan perlengkapan militer yang tangguh, Begin tak merasa perlu berunding dengan negara-negara Arab.
Lalu apa jadinya Timur Tengah? Yah, tetap begitu-begitu saja. Pertikaian demi pertikaian tak bakal selesai. Darah akan terus mengucur di Lebanon. Negara-negara Arab tetap saja bertengkar sesamanya. Sedangkan Israel tak bakal berhenti mengejar-ngejar "teroris" Palestina. Masih adakah mimpi tersisa untuk mendirikan sebuah negara merdeka di Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza yang bernama Palestina ? Kalau, jawabnya "ya tak ada pilihan lain kecuali memiliki kekuatan militer yang mampu menandingi Israel.
Dan jangan lupa kalian (negara-negara Arab) mesti bersatu. Jangan gunakan senjata membunuh diri sendiri. Mithos bahwa Israel tak terkalahkan harus segera hilang. Bukankah mithos itu pernah dipatahkan Mesir ketika perang Yom Kippur? Nah, dengan itu sajalah Israel dapat digiring ke meja perundingan. Bila tidak, jalan menuju ke negeri idaman itu panjang, malah berliku-liku. Atau akankah kalian terus mendendangkan bukan saja nyanyian panjang dengan suara parau: Biladi, biladi!
Sanggar Lancang Kuning, 15-9-1982.
ARENA OKTOBER/TH VIII/82