28 Mei 2004



Mesjid Sultan di Penyengat-Riau

Oleh: Taufik Ikram Jamil

SUATU hal yang tercatat dalam sejarah adalah bahwa mesjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang utuh. Harap diingat, Penyengat pada akhirnya tidak saja sebagai tempat berkedudukannya seorang Yang Dipertuan Muda atau semacam Perdana Menteri Kerajaan Melayu Riau-Lingga, tetapi juga tempat kedudukan Sultan sejak tahun 1900 dengan segala macam pembangunan fisiknya; sebutlah di antaranya berbagai macam istana, mahkamah, rumah sakit, listrik, dan jaringan telepon yang tersedia sebelum abad ke-20.
Alkisah, nama pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletusnya perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau). Pulau ini menjadi penting lagi ketika berkobarnya perang Riau (akhir abad ke-18) pimpinan Raja Haji Fisabilillah yang pada tahun 1997 diangkat sebagai pahlawan nasional. Raja Haji menjadikan pulau ini sebagai kubu penting yang dijaga oleh orang-orang asal Siantan, dari kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan.
Cerita rakyat menyebutkan, nama pulau tersebut diambil dari nama binatang yakni penyengat (sebangsa lebah), semula dikenal sebagai tempat orang mengambil air dalam pelayaran di kawasan ini. Konon, suatu kali para saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang tersebut. Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau itu dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini pulau itu lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.
Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa pemukiman yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat ditata sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya, Sultan Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat.
Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan melakukan berbagai macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurrahman Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh penjajah. Tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi Sultan setelah itu, Abdurrahman Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura dan Johor tahun 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari 6.000 orang penduduk waktu itu yang tinggal di Penyengat setelah peristiwa tersebut.
Dengan demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan, bahkan dijarah. Selentingan dari penduduk terdengar cerita tentang bagaimana di antara para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada hendaklah dirubuhkan daripada diambil oleh Belanda. Tindakan semacam itu tidak mungkin dilakukan terhadap Mesjid Sultan, malahan rumah ibadah ini dipelihara baik sebagaimana mestinya sebuah rumah ibadah.
***
SEBENARNYA, Mesjid Sultan di Pulau Penyengat sebagaimana disebutkan dalam Tuhfat al-Nafis (buku sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji, dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Cuma saja, waktu itu, mesjid tersebut terbuat dari kayu. Raja Jaafar yang membangun Penyengat sebagai bandar modern hanya pernah memperlebar mesjid itu karena penduduk Pulau Penyengat semakin banyak.
Dalam buku Mesjid Pulau Penyengat yang disusun Hasan Junus disebutkan, pembangunan mesjid itu secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844), menggantikan Raja Jaafar. Tak lama setelah memegang jabatan itu yaitu pada tanggal 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk ber-fisabilillah atau beramal di jalan Allah.
Caranya adalah dengan membangun mesjid di atas tapak mesjid yang lama. Suatu mesjid yang dapat meninggalkan zaman yaitu dapat digunakan mulai saat dibina sampai kepada anak cucu mendatang. Seruan ber-fisabilillah itu sangat kuat bergaung, setelah seruan serupa dikumandangkan dalam perang Riau, sehingga berduyun-duyunlah masyarakat datang dari berbagai tempat untuk bergotong-royong. Khusus pada sepekan pertama, para lelaki selain penjaga malam, dilarang keluar rumah agar siangnya dapat menyumbangkan tenaganya untuk mesjid. Akhirnya, pembuatan fondasi mesjid selesai dikerjakan selama tiga pekan.
Tidak saja tenaga, mereka juga menyumbangkan makanan seperti beras, sagu, dan lauk-pauk termasuk telur ayam. Makanan itu berlimpah-ruah, bahkan konon putih telur sampai tidak habis dimakan. Atas saran tukang pada bangunan induk mesjid, putih telur itu akhirnya dicampur dengan semen untuk perekat batu. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat menyebutkan bahwa mesjid tersebut dibuat dari telur.
Kini kawasan mesjid itu berukuran 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya adalah 29,3 x 19,5 meter, disangga oleh empat tiang. Lantai bangunannya dibuat dari batu bata tanah liat. Di halaman mesjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah. Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus mesjid setiap hari seperti juga tahun ini. Khusus bangunan induk, Raja Hamzah Yunus mengatakan, "Tidak ada perubahan semenjak pertama dibangun oleh Raja Abdul Rahman."
Tak pelak lagi, keberadaannya memang amat lain dibandingkan mesjid semula yang terbuat dari kayu. Seperti dikisahkan dalam Mesjid Pulau Penyengat, semula mesjid itu berlantai batu merah empat persegi, sedangkan dindingnya terbuat dari kayu cengal (Balanocarpus heimii) yang didatangkan dari Selangor (kini masuk Malaysia). Atapnya terbuat dari kayu bekian. Hanya terdapat sebuah menara setinggi 12 hasta, ditambah sebuah kubah berukuran 17 hasta. Mesjid ini diberi pagar hidup dengan pohon-pohonan yang tumbuh merimbun.
***
PATUTLAH diakui bahwa bentuk Mesjid Sultan di Penyengat kini sangat unik. Sulit bagi orang untuk menentukan asal arsitekturnya. Ada yang mengatakan, mesjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Tetapi yang jelas, arsitektur mesjid merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab, India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.
Terdapat 13 kubah di mesjid itu yang susunannya bervariasi seperti ada "kelompok" kubah dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian 18,9 meter, maka dapatlah dijumlahkan bahwa bubung yang dimiliki mesjid tersebut sebanyak 17 buah. Ini diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari semalam yakni subuh (dua rakat), zuhur (empat rakaat), asyar (empat rakat), maghrib (tiga rakaat), dan isya (empat rakaat).
Keunikan di dalam mesjid masih banyak. Paling menarik perhatian adalah terdapatnya mushaf Alquran tulis tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul tahun 1867. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Disebabkan tempat belajarnya, penulisan mushaf Alquran itu bergaya Istambul yang dikerjakannya sambil mengajar agama Islam di Penyengat.
Alquran tulis tangan lain yang ada di mesjid itu dan tidak diperlihatkan kepada umum, ternyata lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa di sisi lain, orang-orang Melayu tidak saja menulis ulang mushaf, tetapi juga coba menerjemahkannya.
Tentu saja mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada umum karena sudah amat rusak. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan mesjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor. Dalam suatu kunjungannya tahun 1970-an, Buya Hamka menilai bahwa buku-buku tersebut merupakan buku-buku penting yang tinggi nilainya dalam Islam.
Benda yang juga cukup menarik perhatian di mesjid ini adalah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Sebuah sumber menunjukkan bahwa mimbar ini sengaja ditempah di Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di Penyengat ini, sedangkan mimbar lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Jepara, memang sudah lama dikenal di Riau, bahkan misi dagang Riau yang dipimpin Raja Ahmad, sempat berada di wilayah itu tahun 1826. Di antara anggota misi ini adalah pujangga Raja Ali Haji yang keranda (peti mati) untuknya sempat juga dibuat di Jepara karena ia sakit keras ketika berada di situ.
Hasan Junus mengatakan, di dekat mimbar itu disimpan sepiring pasir yang dikatakan berasal dari Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lain semacam permadani Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua yang dikenal sebagai bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an, hasil perdagangannya di Jawa sampai ke Betawi. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi kanak-kanak.
***
HUSNIZAR Hood dan Raja Hamzah Yunus mengaku, barangkali karena penampilan suasana dalam Idul Fitri dan lintasan sejarah yang dikandung Mesjid Sultan itu yang agaknya "mengusik" hati orang luar datang mengerjakan shalat Idul Fitri atau Jumat (lihat: Naksabandiyah dan Berbagai Kegiatan). Tetapi hal itu tentu tidak dapat diuraikan sebagaimana dikatakan Husnizar, "Saya tidak tahu bagaimana Nak menerangkannya. Kawan-kawan saya juga merasakan demikian, suatu ketenangan yang lain ketika berada di mesjid itu."
Pada gilirannya, kunjungan pendatang dari luar itu merupakan hikmah tersendiri bagi Mesjid Sultan. Ini terbukti banyaknya uang terkumpul dari infak dan sedekah pengunjung. Seorang pejabat Departemen Perhubungan di Jakarta beberapa tahun lalu sempat terkagum-kagum sambil mengatakan bagaimana sebuah mesjid yang berada di desa dengan mata pencaharaian penduduk adalah buruh dan pegawai negeri, memiliki kas di atas Rp 100 juta.
Keterangan terbaru menyebutkan, kas tersebut kini sudah membengkak menjadi Rp 200 juta lebih. Uang inilah yang dikelola untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak. Setiap bulan Ramadhan, pengurus menyediakan makanan berbuka puasa bagi 40 orang. Tak ada syarat untuk itu kecuali memang berpuasa dan memerlukannya. Selebihnya, dana tersebut diperlukan untuk memakmurkan mesjid.
Bayangkan saja, untuk memperindah mesjid, baru-baru ini dipasang lampu mewah pada dua menara mesjid seharga Rp 12 juta. Tak pelak lagi, dari Tanjungpinang, menara mesjid itu terlihat bagai mercusuar-seperti menjalani fungsi mercusuar sebenarnya agar orang tidak tersesat berlayar pada malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan orang akan wujud Allah.
Pengurus mesjid pula tampaknya tidak terlalu ortodoks terhadap pengunjung yang setiap hari mengunjunginya dalam angka relatif-dapat mencapai 1.000 orang pada hari Minggu atau pada hari libur. Mereka dipersilakan melihat-lihat keadaan mesjid setiap saat. Tentu saja, kegiatan melihat-lihat itu tidak lepas dari usaha agar tetap mengingatkan diri kepada Allah, sehingga seorang pengunjung tetap dituntut berlaku sopan. Pengunjung lelaki misalnya, tidak diperkenankan naik ke mesjid kalau hanya memakai celana pendek. Selain itu orang tidak dibenarkan mengambil foto di dalam mesjid.
Tak hanya sampai di situ. Fasilitas mesjid dapat digunakan untuk berbagai kegiatan sosial keagamaan. Dua balai yang berada di halaman mesjid, dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan kebudayaan. Tahun lalu misalnya, pengurus membenarkan pengisi kegiatan Hari Raja Ali Haji mengadakan kegiatan di dalam kompleks mesjid seperti bimbingan penulisan kreatif dan latihan membacakan syair dan Gurindam Duabelas.
Ya, Mesjid Sultan merupakan salah satu dari belasan obyek wisata di Pulau Penyengat sebagai obyek wisata andalan Riau, apalagi dalam saat hari raya seperti sekarang. Tetapi untuk soal agama, Mesjid Sultan tidak bisa ditawar-tawar karena fungsinya tetaplah sebagai rumah ibadah. Mesjid ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa pandangan terhadap dunia tidak mungkin ditutup, tetapi pandangan kepada akhirat tetap dibuka selebar-lebarnya.  Posted by Hello

Masjid Terbuat dari Telur
KETIKA Percil jalan-jalan ke luar Pulau Jawa beberapa waktu lalu, Percil sempat singgah di sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau. Menurut cerita, di pulau kecil yang luasnya hanya 240 hektare dengan panjang 2 kilometer dan lebar 1 kilometer ini ada sebuah masjid yang sangat istimewa. Masjid tersebut dibuat dari telur. Wow! Bayangkan, berapa butir telur yang dibutuhkan untuk membangun masjid tersebut, ya?
Karena penasaran, Percil menyempatkan diri berkunjung ke sana. Dari Kota Tanjung Pinang Riau, Percil naik perahu kecil ke Pulau Penyengat, demikian nama pulau kecil tempat masjid tersebut. Perahu kecil yang bermuatan 10 hingga 20 orang itu dipenuhi penumpang dari berbagai tempat. Ada yang dari Jakarta, Batam, Medan hingga Singapura. Rupanya masjid dan pulau tersebut memang sudah cukup terkenal di kalangan wisatawan.
Ternyata cerita itu bukan omong kosong. Dari pelabuhan yang juga kecil, kita hanya berjalan sekira 200 meter untuk mencapai masjid tersebut. Begitu keluar dari jalan kecil sepanjang pelabuhan, kita langsung berhadapan dengan masjid yang berdiri megah dan kokoh itu, Masjid Raya Sultan atau bisa disebut juga Masjid Penyengat. Dari jauh masjid tersebut sudah tampak berkilauan karena warna kuning mendominasi masjid tersebut.
Setelah bertanya ke sana-sini, diperoleh cerita menarik tentang masjid ini. Penduduk pulau tersebut mayoritas kaum Muslim yang taat beribadah. Semula masjid tersebut terbuat dari kayu biasa. Namun, pada masa pemerintahan raja pulau Yang Dipertuan Muda Abdul Rahman (1803-1844), raja dan rakyatnya bertekad untuk beramal di jalan Allah (fisabilillah) dengan cara membangun masjid yang kokoh, di bekas masjid lama yang terbuat dari kayu tersebut.
Untuk keperluan itu dipanggillah orang-orang dari berbagai tempat baik dari sekitar Pulau Penyengat hingga orang-orang dari Selat (Singapura). Dari berbagai tempat bukan saja tenaga kerja yang didatangkan, melainkan juga berbagai persediaan makanan seperti beras, sagu, sayuran, ikan, kambing, ayam, dan telur.
Beberapa mandor yang memimpin tukang adalah orang-orang India yang berasal dari Singapura. Perhatian penduduk terhadap pembangunan masjid tersebut sangat besar sehingga tersedia begitu banyak makanan termasuk telur. Begitu berlebihannya telur, para tukang bangunan menyarankan agar putih telur yang berlimpah itu dicampur dalam adukan semen. Hal ini lazim dilakukan dalam pembangunan di India. Saran itu dilakukan. Hasilnya memang luar biasa. Bangunannya menjadi sangat kokoh dan kuat.
Tentang berapa ribu atau juta telur yang dipergunakan untuk pembangunan itu tak terlalu jelas. Namun, karena terbuat dari campuran telur itulah, masjid ini menjadi sangat membanggakan penduduk setempat. Cerita ini menyebar ke mana-mana sehingga banyak orang berdatangan untuk melihat dan meraba dinding masjid ini dengan penuh kekaguman.
 Posted by Hello

Iyeth Bustami & Siti Nurhaliza

SEJAK awal Iyeth Bustami optimistis album Laksmana Raja di Laut bakal meledak. Sebab, dia memadukan musik tradisional zapin Melayu dengan musik dangdut yang sedang disukai. Keyakinannya terbukti. Album kesebelasnya meledak dan namanya disejajarkan dengan artis Melayu dangdut papan atas. Bahkan, dia disebut-sebut Siti Nurhaliza Indonesia. "Berlebih-lebihanlah, Siti, Siti, saya, saya," kata dia merendah.

Nama penyanyi yang digosipkan dekat dengan beberapa menteri ini juga masuk dalam nominasi SCTV Music Awards. Biduan asal Riau ini mengaku bangga menjadi nomine penghargaan dari stasiun Ngetop. Namun, artis bertubuh mungil ini tak berharap muluk untuk bisa menang. "Kalau memang suatu saat saya menang, itu surprise banget, pasti saya traktir teman-teman," kata dia tertawa. (Sumber: SCTV )

Pautan:
Iyeth Bustami Dapat Senjata untuk Gugat Balik

Nirmala Bonat Posted by Hello

20 Mei 2004

Penderaan paling kejam

Utusan Malaysia Online





NIRMALA BONAT (gambar kiri), 19, adalah antara gadis yang paling gembira di Indonesia tahun lalu apabila mendapat tawaran bekerja sebagai pembantu rumah di Malaysia. Bagaimanapun, keceriaan Nirmala tidak berpanjangan. Dia dipercayai didera dan dicederakan di seluruh bahagian tubuh tanpa belas kasihan oleh suri rumah tempat dia bekerja di sebuah kondominium di Jalan Sultan Ismail, Kuala Lumpur. - Gambar BERNAMA..





KUALA LUMPUR 19 Mei - Kisah penderaan ke atas seorang pembantu rumah rakyat Indonesia semalam yang dizalimi tanpa hati perut - dijirus air menggelegak, ditekap seterika panas, dipukul dengan besi berbara tiada bezanya dengan perbuatan tentera penceroboh di penjara Abu Gharib, Iraq.

Cuma yang membezakannya ialah ia berlaku di Malaysia - negara yang kononnya mempunyai rakyat bertimbang rasa dan penuh kasih sayang.

Tetapi melihatkan gambar yang tertera di akhbar ini, di manakah perginya semua sifat itu? Persoalannya, apa sudah jadi dengan masyarakat kita?

Mengapakah manusia yang lemah seorang pembantu rumah yang mencuci punggung anak kita dan bermanja dengan mereka sanggup diperlakukan seperti binatang?

Nirmala Bonat, 19, warga Indonesia yang tiba di negara ini dengan harapan mencari nafkah halal, akhirnya terpaksa melarikan diri meminta pertolongan.

Gadis berasal dari Nusa Tenggara Timur, Kupang, Indonesia itu dipercayai didera teruk oleh majikan wanitanya sejak lima bulan lalu semasa bekerja di sebuah kondominium di Jalan Sultan Ismail di sini.

Mangsa, antara lain, melecur pada kedua-dua buah dadanya akibat ditekap dengan seterika panas.

Bahagian belakang badan mangsa melecur teruk disiram air panas.

Begitu juga kedua-dua belah tangannya melecur akibat direndam dalam air panas.

``Saya terpaksa melarikan diri selepas tidak tahan dipukul setiap hari oleh majikan sejak lima bulan lalu,'' katanya kepada wartawan hari ini setelah menerima perlindungan di Kedutaan Indonesia di sini.

Menurutnya, dia mula didera selepas tiga bulan bekerja dengan pasangan suami isteri yang mempunyai empat orang anak itu.

``Kali pertama saya didera berpunca dari kesilapan kecil iaitu memecahkan sebiji cawan menyebabkan majikan saya berang lalu menyimbah air panas ke badan saya.

``Sejak itu sekurang-kurangnya sekali sehari saya dipukul walaupun ia hanya melibatkan kesalahan remeh-temeh,'' ceritanya.

Nirmala menambah, dia datang ke Malaysia melalui ejen pekerjaan yang sah untuk bekerja sebagai pembantu rumah pada September 2003.

Sebelum dihantar bekerja, katanya, dia terlebih dahulu dikehendaki menjalani latihan oleh ejen berkenaan selama dua minggu.

``Selesai latihan saya terus dihantar bekerja dan tidak menyangka akan dilayan dengan buruk oleh mereka,'' ujarnya.

Menurut Nirmala, perbuatan kejam seperti disiram dengan air panas, dipukul dengan benda keras atau menggunakan besi panas, hanya dilakukan oleh majikan wanita berkenaan yang tidak bekerja.

Majikan wanitanya itu juga didakwa telah memaksa Nirmala menandatangani sepucuk surat yang mengatakan Nirmala mencederakan dirinya sendiri bagi mengelakkan perbuatan itu terdedah.

Tambahnya, suami majikan wanita itu yang bekerja dengan sebuah syarikat perdagangan, tidak berbuat apa-apa walaupun dia mengetahui tindakan kejam isterinya.

Berikutan tidak tahan dengan penderaan yang dilakukan, Nirmala bertindak nekad melarikan diri apabila mendapat peluang berbuat demikian semalam.

``Pada pukul 3 petang semalam majikan saya sekali lagi mendera saya dengan memukul kepala saya menggunakan cawan besi sehingga bengkak kerana tidak puas hati dengan pakaian yang digosok.

``Dalam kekecohan itu saya berkesempatan melarikan diri keluar dari rumah itu dan bersembunyi di salah satu tingkat kondominium tersebut sebelum ditemui seorang pengawal keselamatan,'' katanya.

Pengawal keselamatan di kondominium itu menghubungi polis yang kemudian mengambil Nirmala untuk membuat laporan sebelum dihantar ke Hospital Kuala Lumpur (HKL).

Selepas dirawat gadis itu diserahkan kepada Kedutaan Indonesia sementara menunggu siasatan polis.

Ketua Polis Daerah Dang Wangi, Asisten Komisioner Hadi Ho Abdullah mengesahkan polis telah menahan wanita majikan Nirmala berusia 34 tahun untuk membantu siasatan.