17 Julai 2004

Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Intelektual yang tangguh, sederhana dan Mengabdi

Amanah Online
Bismillahirrahmanirrahim

Laporan: M. Fuad Nasar / ANR


[Laporan Khusus]
Bangsa Indonesia kehilangan tokoh panutan. Mantan Menteri Agama RI Prof. Dr. H.A. Mukti Ali telah berpulang ke Rahmatullah, Rabu petang, 5 Mei 2004 di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dalam usia 81 tahun. Meninggalkan seorang istri (Ibu As�adah) dan tiga putra-putri, jenazahnya dimakamkan hari Kamis di pemakaman IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923. meraih gelar Master of Arts (MA) dari McGill University, Kanada (1957). Meneruskan kuliah di Universitas Aligarch, India, hingga memperoleh gelar Doktor sejarah Islam. Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai staf Kedubes RI di Karachi.

Sepanjang hayatnya Mukti Ali dikenal sebagai intelektual Muslim yang tangguh, berwatak dan berpandangan luas, memiliki reputasi nasional dan internasional. Dia anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), anggota dewan riset internasional dan perintis organisasi Parlemen Agama Sedunia di New York. Dia orang pertama yang membuka jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Perbandingan Agama, barangkali satu-satunya di Indonesia. Dia memperkenalkan pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai �bapak ilmu Perbandingan Agama di Indonesia�.

Tokoh yang bersih, jujur dan sederhana ini dilantik menjadi menteri agama pada 11 september 1971 menggantikan KHM Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan meklanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Ia satu diantara sedikit intelektual yang mampu menjaga integritas dan kredibilitas pada saat berada di dunia birokrat.

Keistimewaan Mukti Ali, ia bisa menampilkan diri murni sebagai tokoh representatif umat Islam yang netral dari kepentingan kelompok. Dia bukan berasal dari organisasi NU, bukan pengurus Muhammadiyah, atau lainnya, dan bukan pula kader partaipolitik. Di samping itu, meski berpendidikan Barat, kharisma seorang mentri agama panutan umat tercermin pada sosok Mukti Ali.

Dia memiliki sikap hidup qanaah, konsisten, tidak berubah karena kedudukan dan jabatan yang disandangnya. Kesederhanaan terlihat dalam kehidupan pribadi dan keluarganya, baik ketika menjadi menteri maupun setelah kembali ke dunia akademis. Setelah meneyelesaikan tugas sebagai Menteri Agama, lalu diangkat menjadi anggota DPA, tapi ia memutuskan tinggal di Yogyakarta agar kegiatan mengajar bias kembali dilakukannya.

Dr. Taufik Abdullah (1995) melukiskan keistimewaan Mukti Ali bahwa Ia dating ke Yogyakarta ke Jakarta dengan membawa hanya sebuah koper berisikan beberapa lembar pakaian, dan saat meninggalkan Jakarta pun ia pulang dengan membawa koper yang sama.

Sedikitnya ada lima hal penting dari kebijakan Mukti Asewaktu menjadi Menteri Agama. Pertama, rasionalisasi Depag menjadi departemen yang mempunyai tugas utama membangun manusia seutuhnya. Dialah yang mempopulerkan istilah �membangun manusia Indonesia seutuhnya�

Kedua, intelektualisasi lembaga pendidikan tinggi IAIN. Dia menegaskan tugas IAIN sama dengan perguruan tinggi lainnya, ialah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pengajaran dan pendidikan, penelitian (riset) serta pengabdian masyarakat. Ketiga, memantapkan posisi agama dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. Pembangunan bidang agama masuk dalam GBHN. Namun dalam hal ini, ia dengan gambling menegaskan, Indonesia bukanlah negara terokraris, dan juga bukan negara sekuler.

Keempat, menggalang kerukunan hidup antar umat beragama, baik intern satu agama maupun antar agama. Dalam intern agama (Islam), ia meluruskan imej yang salah kaparah mempertentangkan faham ortodoks sebagai faham �kaum tua� dengan faham modern sebagai faham �kaum muda�, Orthodoxy (orthos + doxa) adalah faham yang didasarkan pada ajaran yang benar, yang asli. Lawan kata ortodoks bukan modern, melainkan heterodoks, yakni faham yang telah bercampurbaur. Jadi, ortodoks bias ada pada �kaum tua� dan �kaum muda�.

6yang lebih menonjol adalah konsepnya tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih klanjut menjadi konsep �Kerukunan Hidup Antarumat Beragama� di Indonesia.

Kelima, ia mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang diantara fungsi utamanya memberikanpertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaaaan dan kemasyarakatan.

Buku-buku karyanya antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Billali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, Ta�limul Muta�allimin versi Iman Zarkasyi, Motode Memahami Agama Islam, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern. Pada tahun 1962-1965 ia bertugas sebagai anggota Lembaga Penerjemah Al Quran yang digagas olehDepartemen Agama periode Menteri Agama Prof. KH. Sarifuddin Zuhri.

Mukti Ali telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kita semua menjadi saksi bahwa ia telah banyak berpikir dan bekerja untuk umat, bangsa dan negara. Semoga amal salihnya itu diterima oleh Allah, dan semoga pula Allah memberi kita petunjuk untuk dapat meneladaninya, Selamat Jalan Pak Mukti Ali.

M. Fuad Nasar / ANR

1 ulasan:

JOM JALAN berkata...

Pertama kali saya bersua muka dengan Alm. Prof. Mukti Ali sekitar tahun 1974 ketika beliau berkunjung ke tempat saya. Saya mengikuti khutbah jumaatnya dengan topik taqwa. Uraiannya ilmiah dengan mengutip ayat pertama dst surah al-Baqarah. Saya amat bangga ketika itu karena dapat bersua muka dengan menteri agama RI.

Kemudian, setelah beliau tidak menjadi menteri, sekali lagi dapat menatap wajahnya karena beliau menjadi dosen di kampus saya. Saya juga menghadiri ceramah-ceramah yang diberikannya. Bahkan, saya sempat meliput ceramahnya dan dimuat di majalah Panjimas, Jakarta.

Salah satu ceramahnya yang masih saya ingat adalah tentang Kartini yang merupakan simbol kebebasan atau kebangkitan wanita. Bukan Kartini saja yang memperjuangkan wanita tapi Kartini merupakan simbol yang mewakili kebangkitan wanita nusantara.